Ragam Respons Terhadap Putusan MK Soal Sekolah Swasta Gratis

1 week ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyebut bahwa pihaknya belum membaca putusan MK atau Mahkamah Konstitusi ihwal pembebasan biaya pendidikan dasar di sekolah negeri dan swasta sehingga belum dapat memberikan tanggapan secara rinci.

“Saya tadi sudah katakan, itu coba cek juga dulu ke Kementerian Pendidikan Dasar Menengah, kita juga belum baca keputusannya,” ujar Hasan usai menghadiri acara Public Hearing di Jakarta, seperti dilansir dari Antara, Rabu, 28 Mei 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasan menegaskan pemerintah akan menentukan sikap setelah memahami isi dan implikasi dari putusan tersebut. “Nanti kita tentu minta petunjuk dan arahan dari Presiden juga,” kata dia.

Sebelumnya, MK mewajibkan pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar secara gratis di sekolah negeri dan swasta untuk jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP) dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 27 Mei 2025.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 di MK RI, Jakarta, Selasa, 27 Mei 2025. 

Delapan hakim MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga pemohon atas nama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Mereka menggugat Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

MK berpandangan pembatasan pembiayaan hanya untuk sekolah negeri menciptakan kesenjangan akses, terutama karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Selain itu, MK menegaskan bahwa negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk membiayai pendidikan dasar tanpa diskriminasi, sesuai amanat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945.

Adapun, putusan MK tersebut menuai tanggapan dari berbagai pihak yang dirangkum Tempo sebagai berikut.

Sekjen Golkar Khawatir Negara Tidak Sanggup

Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji mengaku khawatir negara tidak akan sanggup menerapkan putusan MK karena kondisi anggaran yang terbatas. Menurut dia, anggaran untuk pendidikan itu bersifat sangat luas sehingga akan cukup rumit bila negara harus membiayainya. Meski begitu, dia memahami bahwa putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat

"Seluruh pembiayaan SD dan SMP itu dibiayai oleh pemerintah termasuk swasta-swastanya dan digratiskan, tentu saja itu sesuatu yang tidak mudah," kata Sarmuji di Jakarta, Rabu, 28 Mei seperti dilansir dari Antara. 

Sarmuji menilai, MK seharusnya mencermati kondisi realitas yang ada karena keputusan tersebut bisa berdampak luas. Dia juga khawatir bahwa putusan tersebut bakal mematikan partisipasi masyarakat di dunia pendidikan. Misalnya, organisasi islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang memiliki lembaga pendidikan swasta yang sangat banyak di tanah air. Jika lembaga pendidikan mereka harus digratiskan, maka negara harus menggelontorkan biaya yang sangat besar.

Padahal, kata dia, partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan itu salah satu pilar utama kemajuan sebuah bangsa yang sudah berlangsung bahkan sejak sebelum kemerdekaan. "Kita tidak menyatakan tidak sepakat, karena nggak sepakat juga keputusan MK bersifat final dan mengikat," katanya. 

KPAI Minta Pemerintah Akomodir Putusan MK

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono, mengatakan putusan MK harus menjadi bagian substansi yang diakomodir dalam rencana revisi Undang-Undang Sisdiknas. “Bila perlu ada pasal yang mengatur pembagian pembiayaan pendidikan oleh pemerintah pusat dan daerah,” kata Aris saat dikonfirmasi, Rabu, 28 Mei 2025.

Pembiayaan pendidikan, kata Aris, juga harus berfokus pada kegiatan yang berdampak langsung pada mutu pembelajaran dan kualitas lulusan. Adapun, menurut KPAI konsekuensi dari putusan MK salah satunya ialah pemerintah harus menghitung ulang unit cost biaya pendidikan per anak, sehingga mencukupi untuk kebutuhan layanan pembelajaran, sarana prasarana, serta aktivitas penunjang lainya. Jika unit cost biaya pendidikan anak terpenuhi, lanjut Aris, maka akan menghilangkan pungutan liar pada satuan pendidikan.

“KPAI mengapresiasi MK dan lembaga masyarakat, serta individu yang telah menghasilkan putusan regulasi yang sangat berdampak positif terhadap akses dan mutu pendidikan anak Indonesia,” ujarnya.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, ada 29,21 persen anak yang putus sekolah dari total 30,2 juta anak. Aris mengatakan KPAI meyakini dengan menjalankan putusan MK tersebut, angka anak putus sekolah akan menurun, sehingga peluang mewujudkan kesejahteraan anak Indonesia akan semakin terbuka.

JPPI Minta Prabowo Turun Tangan

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, meminta Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung dalam mengimplementasikan sekolah gratis sesuai dengan putusan MK.  “Dalam struktur negara kita, pemegang kunci implementasi perintah konstitusi ini adalah Presiden Republik Indonesia,” kata Ubaid melalui keterangan tertulisnya pada Rabu, 28 Mei 2025. “Ini bukan hanya tugas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang punya anggaran relatif kecil.”

Ubaid mengatakan ada lima alasan presiden harus turun tangan. Pertama, anggaran pendidikan besar, tapi salah urus. Kedua, kewenangannya lintas kementerian. Ketiga, payung hukum dan regulasi turunan. Keempat, political will sebagai kunci. Kelima, amanat konstitusi dan tanggung jawab moral.

“JPPI mendesak Presiden untuk segera mengambil sikap tegas dan menerbitkan kebijakan yang konkret,” kata Ubaid.

Kemendikdasmen Menunggu Arahan Presiden

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq mengatakan pemerintah masih mengkaji putusan MK tentang kewajiban pendidikan gratis selama sembilan tahun di sekolah negeri dan swasta. Alasannya, putusan MK tentang sekolah gratis tersebut baru keluar pada Selasa, 27 Mei 2025.

Dia mengatakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) belum mendapatkan salinan resmi putusan tersebut dari MK. “Tentu kami juga akan menunggu arahan Bapak Presiden mengenai hal ini,” kata Fajar saat ditemui setelah acara di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Mei 2025.

Fajar juga beralasan penyelenggaraan pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah. “Urusan pendidikan bukan kewenangan absolut pemerintah pusat, tapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah karena bersifat konkuren. Apalagi, pendidikan dasar seperti SD dan SMP,” ujarnya.

DPR Siap Kawal Implementasi Putusan MK

“Pastinya, Komisi X juga berkomitmen untuk mengawal implementasi putusan MK ini agar sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar NRI 1945, khususnya Pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani di Jakarta, Rabu, 28 Mei 2025 seperti dikutip dari Antara.

Hadrian juga menyampaikan dukungan dari Komisi X DPR untuk pelaksanaan putusan MK itu. “Tentu, kami mendukung atas semangat konstitusional untuk menjamin hak setiap warga negara memperoleh pendidikan yang layak dan merata,” kata dia.

Kendati demikian, dia menyoroti persoalan anggaran untuk menjalankan putusan MK itu. Dia memandang APBN dan APBD harus mampu menanggung biaya operasional pendidikan secara adil dan proporsional. “Harus ada mekanisme transparan untuk memastikan sekolah swasta mendapatkan subsidi yang memadai, tanpa mengorbankan kualitas dan kemandirian pengelolaan sekolah,” ucapnya.

Sapto Yunus, Eka Yudha Saputra, Daniel Ahmad Fajri, dan Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Putusan MK Soal Pendidikan Gratis, DPR: Regulasi Harus Segera Disiapkan

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |