FORUM Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPR dan DPD dari daerah Papua di MPR (FOR Papua MPR) menyarankan pemerintah menghentikan pendekatan keamanan dengan mengerahkan aparat TNI-Polri dalam menangani masalah konflik Papua.
Wakil Ketua DPD sekaligus Ketua FOR Papua MPR Yorrys Raweyai mengatakan saran tersebut disampaikan setelah melihat kondisi konflik bersenjata di Papua dalam beberapa bulan terakhir. Menurutnya, pengerahan aparat di Papua belum menjadi solusi menurunkan eskalasi konflik.
“Ada korban dari pihak TNI dan kepolisian, ada korban dari pihak masyarakat, dan kami mendapat laporan yang cukup banyak,” kata Yorrys di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 27 Mei 2025, seperti dikutip dari Antara.
Yorrys menuturkan permasalahan konflik di Papua bukan masalah baru karena sudah terjadi hampir 70 tahun. Dia menganggap konflik di Papua bukan hanya dipicu oleh aspek pembangunan atau ekonomi, melainkan juga karena masalah politik. Karena itu, dia mengatakan seluruh pihak perlu menyamakan persepsi dalam mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah Papua.
Dia menyebutkan Presiden Prabowo Subianto perlu mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan konflik di Papua. Dengan demikian, pihaknya bisa turut membantu menyelesaikan masalah tersebut. Apalagi, dia meyakini para legislator asal Papua setidaknya memiliki jaringan dengan kelompok-kelompok separatis yang berada di Bumi Cenderawasih.
Berdasarkan pengamatannya beberapa waktu terakhir, masyarakat yang mengungsi di Papua menjadi persoalan. Bahkan, ada warga yang keluar dari wilayah-wilayah kabupaten tertentu hingga tidak memiliki kepastian. “Kami harapkan kiranya pemerintah pusat bisa mengevaluasi strategi-strategi yang dibangun selama ini,” kata Yorrys.
Jaringan Damai Papua Minta Pemerintah Berdialog dengan Kelompok Separatis
Sebelumnya, juru bicara Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, meminta pemerintah Indonesia tidak menutup ruang dialog dengan kelompok-kelompok Papua yang menuntut kemerdekaan. Menurutnya, selama ini, pemerintah terkesan menutup pintu dialog terhadap gerakan separatisme Papua. Akhirnya, pemerintah berfokus pada pendekatan militer yang berimbas pada korban sipil.
“Yang paling penting mereka (kelompok separatis) punya kemauan untuk bicara dan setelah berbicara baru nanti hal-hal yang disampaikan. Kan pemerintah selalu alergi langsung dengan hal-hal yang terkait dengan soal Papua merdeka, tidak mau berbicara Papua merdeka. Selalu bilang ini wilayah integrasi,” kata Yan saat dihubungi pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Jaringan Damai Papua melihat penyelesaian konflik di Papua tidak bisa menggunakan cara kekerasan. Apalagi, dengan mengerahkan pasukan ke Papua dan operasi militer. Dia mengatakan separatisme tidak bisa dihadapi dengan cara pendekatan keamanan, melainkan pendekatan kemanusiaan dan ideologis.
“Cara-cara resisten seperti ini tentu langsung akan dilawan juga dengan resisten, katakanlah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka atau TPNPB-OPM atau aktivis Papua merdeka. Tentu mereka resisten,” ujarnya.
Yan menyarankan Presiden Prabowo mengedepankan pendekatan dialog dan kemanusiaan alih-alih kekerasan. Dia meyakini semua pihak di Papua pasti bersedia berbicara pada satu meja. “Bahwa soal orang berbicara Papua merdeka, no problem. Dan kita bilang, oke mari kita bicara. Yang paling penting mereka punya kemauan untuk bicara,” katanya.
Jaringan Damai Papua juga mendorong Prabowo menunjuk utusan khusus untuk membuka dialog dengan kelompok OPM dan semua pihak yang berkonflik di Papua. “Presiden Prabowo harus menunjuk satu orang sebagai orang yang menghubungkan dirinya langsung dengan pihak yang berkonflik di Papua,” kata Yan.
Dia menjelaskan utusan khusus ini harus bisa berkomunikasi langsung dengan Presiden tanpa melewati birokrasi yang ruwet. Dia mencontohkan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menunjuk Farid Husain sebagai utusan khusus pemerintah dalam perundingan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
TPNPB-OPM Pertanyakan Komitmen Prabowo Selesaikan Konflik Papua
Sementara itu, juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mempertanyakan komitmen Prabowo dalam menyelesaikan konflik di Papua. Menurutnya, Presiden justru kerap memberi perhatian lebih terhadap krisis yang terjadi di negara tetangga.
Sebby menilai seharusnya Prabowo memprioritaskan penanganan konflik kekerasan di Papua yang sudah berlangsung lama. “Tapi dia anggap Papua aman,” ujarnya saat dihubungi pada Senin, 19 Mei 2025.
Dia berujar kondisi di Papua sebenarnya tidak baik-baik saja. Sebby menyinggung ihwal adanya ribuan orang asli Papua yang mengungsi ke hutan karena terjadi konflik kekerasan.
Konflik bersenjata di Papua memanas dalam sepekan terakhir. Teranyar adalah operasi militer di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, pada 13-14 Mei 2025. Kontak senjata menyasar lima kampung, yaitu Titigi, Ndugusiga, Jaindapa, Sugapa Lama, dan Zanamba.
TNI menyebutkan kontak senjata terjadi di Distrik Sugapa dan Hitadipa di Intan Jaya. Komandan Satuan Tugas (Satgas) Media Koops Habema Letnan Kolonel Infanteri Iwan Dwi Prihartono mengatakan insiden baku tembak terjadi karena pasukan TNI dihadang dan diserang oleh kelompok sipil bersenjata. TNI mengklaim berhasil melumpuhkan 18 anggota OPM dalam sebuah operasi di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, Rabu, 14 Mei 2025.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan operasi tersebut digelar untuk melindungi warga dari ancaman kelompok separatis yang bersenjata.
“TNI hadir bukan untuk menakut-nakuti rakyat, tetapi untuk melindungi mereka dari kekerasan dan intimidasi yang dilakukan kelompok bersenjata. Operasi ini dilakukan secara terukur, profesional, dan mengutamakan keselamatan warga sipil. Kami tidak akan membiarkan rakyat Papua hidup dalam ketakutan di tanah kelahirannya,” ujar Kristomei dalam siaran pers pada Kamis, 15 Mei 2025.
Namun Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengatakan operasi militer itu memakan korban warga sipil. Kepala Biro Papua PGI Pendeta Ronald Rischard Tapilatu mengatakan tiga warga sipil tewas dalam kontak tembak tersebut.
Ketiga korban tersebut masing-masing adalah Evangelis Elisa Wandagau, Mono Tapamina, dan Kepala Desa Hitadipa Ruben Wandagau. Selain itu, dua orang lainnya menderita luka-luka. Informasi ini diperoleh dari jaringan Gereja Kemah Injil yang berada di sekitar lokasi kejadian.
“Peristiwa terjadi pada subuh saat orang-orang masih tidur. Para korban adalah warga biasa yang tidak terlibat,” ujar Pendeta Ronald saat dihubungi pada Sabtu, 17 Mei 2025.
Sejumlah 950 warga sipil juga terpaksa mengungsi dan ditampung di salah satu gereja Katolik dari 13 gereja yang tersebar di Intan Jaya.
Eka Yudha Saputra, Novali Panji Nugroho, Dani Aswara, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia