Alasan Pemerintah Menulis Ulang Sejarah dengan Tone Positif

1 day ago 7

KEMENTERIAN Kebudayaan sedang menyusun ulang sejarah Indonesia. Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengatakan sejarah Indonesia akan ditulis ulang dengan tone yang lebih positif.

Tone kita adalah tone yang lebih positif, karena kalau mau mencari-cari kesalahan, mudah, pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa,” kata Fadli saat ditemui di Cibubur, Jawa Barat, Ahad, 1 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.

Menurut dia, pembaruan buku sejarah akan dilakukan dengan mengedepankan perspektif Indonesia sentris. Hal ini untuk menghapus bias-bias kolonial, mempersatukan bangsa Indonesia, dan menjadikan sejarah relevan bagi generasi muda.

“Kalau mau mencari-cari kesalahan atau mencari-cari hal yang negatif, ya, saya kira itu selalu ada. Jadi yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif, dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya,” ucapnya.

Di sisi lain, Menbud meminta masyarakat tidak khawatir karena penulisan ulang sejarah ini melibatkan tim yang mencakup 113 penulis, 20 editor jilid, dan tiga editor umum, termasuk sejarawan.

Menteri HAM Dukung Penulisan Ulang Sejarah dengan Tone Positif

Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menyatakan mendukung gagasan Menteri Kebudayaan Fadli Zon perihal penulisan ulang sejarah, khususnya terkait pelanggaran HAM berat, dengan narasi atau tone yang lebih positif.

Pigai mengatakan penulisan ulang sejarah dengan tone positif bukan berarti menulis sejarah yang sesuai dengan keinginan pihak tertentu saja, melainkan menuliskan sejarah secara apa adanya.

“Itu artinya tidak bermaksud mempositifkan semua peristiwa. Semua peristiwa itu kan up and down, ada titik tertentu baik, titik tertentu jelek, tapi ketika kita menulis fakta peristiwa apa adanya, itu yang namanya tone positif,” tutur Pigai saat ditemui di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa, 3 Juni 2025.

Menurut dia, sejarah Indonesia selama ini masih dalam perdebatan, ada pihak yang menerima maupun menolak suatu peristiwa. Karena itu, pemerintah perlu menulis ulang sejarah bangsa.

“Yang dimaksud tone positif adalah data, fakta, informasi atas perjalanan sejarah bangsa diungkap apa adanya. Tapi kan teman-teman wartawan atau masyarakat memaknai tone positif itu sesuai dengan keinginan pemerintah. Emang pemerintah keinginannya apa? Kan enggak juga,” ujarnya.

Sebagai bagian dari kabinet pemerintahan, Pigai memastikan Kementerian HAM akan terlibat dalam penulisan ulang sejarah Indonesia untuk mengontrol kebenaran peristiwa yang ditulis. Dalam hal ini, dia menyoroti perihal keadilan dan ketidakadilan.

“Kalau kami lebih kepada mengontrol kebenaran peristiwa. Itu soal justice (keadilan). Ketika ada peristiwa tertentu yang ditutupi, itu injustice (ketidakadilan). Peristiwa itu diungkap secara fakta, apa adanya, itu justice,” katanya.

Petisi Tolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Akademisi, ahli, aktivis, dan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak penulisan ulang sejarah secara tunggal yang sedang digarap pemerintah. Mereka menilai penulisan ulang sejarah itu bisa membungkam kebenaran.

Menurut AKSI, negara tidak berhak memberi tafsir tunggal atas sejarah. AKSI juga menilai sejarah seharusnya memberi ruang setara bagi mereka yang dimarjinalkan di masyarakat. Penolakan AKSI ini juga telah disampaikan saat melakukan audiensi dengan Komisi X DPR pada 19 Mei 2025.

“Pelanggaran berat HAM masa lalu harus terus diungkap kebenarannya, disuarakan, diingat; dan ‘sejarah resmi’ dapat digunakan menutupi dosa masa lalu, peristiwa yang kelam berisiko terulang kembali,” kata AKSI dalam keterangan yang diterima Tempo pada Senin, 2 Juni 2025.

Kelompok ini mendorong agar sejarah harus ditulis secara terbuka dan berkeadilan. AKSI mengajak masyarakat berpartisipasi melalui sebuah petisi yang bisa dibuka dalam tautan sebagai berikut: https://www.amnesty.id/kerja-amnesty/kampanye/petisi-aksi/

AKSI mencakup puluhan tokoh termasuk mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, guru besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, Direktur Lab4 Jaleswari Primowardhani, hingga Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Mantan Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Universitas Driyarkara Karlina Supelli, hingga pengajar filsafat Institut Kesenian Jakarta Martin Suryajaya juga mendukung gerakan ini.

Daniel Ahmad Fajri dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Mengapa Skema Tanazul Batal Diterapkan pada Ibadah Haji 2025

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |