TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas tak mau berandai-andai soal hasil permohonan penangguhan penahanan yang diajukan buronan kasus korupsi pengadaan e-KTP, Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin di Singapura. Dia meminta masyarakat untuk menunggu saja hasil putusan permohonan tersebut.
“Yang begini nggak boleh berandai-andai, kita tunggu putusannya,” ujar Supratman saat ditemui di kantornya pada Rabu, 4 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan pemerintah akan merumuskan langkah lanjutan mengenai ekstradisi Paulus usai putusan pengadilan Singapura. Dia menilai proses peradilan yang dijalani Paulus di Singapura merupakan kewenangan otoritas setempat. Sehingga, pemerintah tidak dapat mengintervensinya.
Namun, Supratman menjamin pihaknya telah menyerahkan seluruh dokumen permohonan ekstradisi Paulus kepada pemerintah Singapura secara lengkap. Supratman menyebut komunikasi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura berjalan dengan baik.
“Pokoknya kita tunggu prosesnya yang sedang berjalan, kalau yang menyangkut soal apa persidangannya di sana yang lebih tahu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” kata dia.
Juru bicara KPK Budi Prasetyo sebelumnya mengatakan lembaganya berkerja sama dengan Kementerian Hukum (Kemenkum) dalam sidang pendahuluan atau committal hearing ekstradisi Paulus Tannos. Sidang itu akan digelar pada 23 hingga 25 Juni mendatang.
"Kami semua juga tentunya menginginkan bahwa proses penanganan atau pun penegakan hukum tindak pidana korupsi dapat berjalan secara efektif," kata Budi di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Senin, 2 Juni 2025.
Sidang pendahuluan itu berlangsung setelah pemerintah Republik Indonesia menyampaikan permohonan ekstradisi terhadap Paulus Tannos sejak 20 Februari 2025. Kementerian Hukum RI juga menyerahkan informasi tambahan melalui jalur diplomatik pada 23 April 2025.
Paulus Tannos merupakan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 19 Oktober 2021 atau dua bulan setelah dia menyandang status tersangka kasus korupsi proyek e-KTP. Ia diduga terlibat dalam rekayasa tender proyek e-KTP sehingga merugikan negara Rp 2,3 triliun.
KPK menuding Paulus melobi sejumlah pejabat agar bisa memenangkan proyek tersebut. Caranya, dia sepakat memberikan fee sebesar 5 persen dari nilai proyek. Ia membagi jatah fee tersebut kepada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Kala itu, Paulus menjabat sebagai Direktur PT Sandipala Arthaputra yang masuk dalam konsorsium pemenang proyek e-KTP bersama Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Proyek ini telah dimulai sejak 2006, saat itu Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional.
Lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) menangkap Paulus Tannos pada 17 Januari 2025. Penangkapan tersebut terjadi setelah Divisi Hubungan Internasional Polri mengirimkan surat penangkapan sementara (provisional arrest request) kepada otoritas Singapura.