KLH: Status Udara Jabodetabek Tidak Sehat Sebulan Terakhir

1 day ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan kualitas udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) berstatus tidak sehat dalam satu bulan terakhir.

Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara Edward Nixon Pakpahan mengatakan status ini diperoleh dari hasil pemantauan kadar particulate matter 2.5 atau PM2.5 pada tanggal 1 Mei sampai 3 Juni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Nilainya pada status kuning, artinya status tidak sehat, nilai konsentrasi PM2.5 di atas 100 ppm (parts per million), lebih tinggi dari standar kami 55 ppm,” katanya saat konferensi pers di Jakarta, Rabu, 4 Juni 2025.

Nixon mengatakan pemantauan kualitas udara dilakukan melalui Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambien (SPKUA) yang berada di Jabodetabek. Lokasi yang dipantau di antaranya berada di Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Kota Depok, Kabupaten Bogor, Tangerang Selatan, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi. Hasilnya sebanyak 35 titik tercatat mengalami peningkatan skor PM2.5 dalam periode pemantauan sebulan terakhir.

Walau berstatus tidak sehat, kata Nixon, angka pada tahun ini relatif kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi, menurutnya, ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah untuk menangani dan mencegah status kualitas udara tidak sehat.

Kementerian mengungkapkan penurunan kualitas udara kali ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. “Disebabkan oleh sumber emisi kendaraan, industri dan juga yang terpenting ternyata dari pembakaran terbuka,” ujar Nixon.

Pembakaran terbuka yang dimaksud adalah pembakaran jerami pascapanen dan pembakaran sampah yang dibakar langsung tidak mengalami mekanisme proses pembakaran yang benar.

Sebagaimana diketahui, terdapat lima kategori menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara. Status baik (hijau) di rentang 1-50, sedang (biru) di rentang 51-100, tidak sehat (kuning) di rentang 101-200, sangat tidak sehat (merah) di rentang 201-300, dan berbahaya (hitam) di atas 301.

Nixon mengatakan hasil kajian juga mengungkap kontribusi penyumbang emisi berasal dari sektor transportasi sekitar 42-52 persen, kegiatan industri 14-17 persen, pembakaran terbuka 7 persen, dan kegiatan konstruksi 13 persen.

Alasan sektor transportasi menjadi penyumbang emisi terbesar juga dipengaruhi oleh kandungan sulfur pada bahan bakar minyak. Bensin di Indonesia, kata Nixon, mengandung sulfur sekitar 350 sampai 550 ppm, sedangkan solar hingga 1.200 ppm.

Angka tersebut masih jauh dari standar Euro 4 yang mengandung sulfur 50 ppm. “Karena itu mohon kepada kita semua termasuk kementerian yang terkait sekiranya berkenan untuk mendukung percepatan realisasi bahan bakar ramah lingkungan atau rendah sulfur secepatnya,” tuturnya.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |